Kerancuan kelamin, penyakit genetik yang terabaikan Posted April 11, 2022 by venty muliana

0

by Prof dr. Sultana MH Faradz, Ph.D

Center for Biomedical Research (Cebior)/ Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

 

Apa yang diketahui tentang Kromosom, DNA dan gen?

Genetika adalah cabang biologi yang mempelajari pewarisan sifat pada organisme maupun suborganisme (termasuk virus). Sitogenetika adalah studi tentang bentuk dan struktur kromosom selama pembelahan sel. Pemeriksaan sitogenetika adalah pemeriksaan bahan genetik pada tingkat sel (kromosom), yang dapat diperiksa dengan mikroskop cahaya. Kromosom manusia terdapat didalam inti sel, jumlah normalnya 46 yang terdiri 22 pasang autosom dan sepasang kromosom seks XY pada laki-laki atau XX pada perempuan, masing-masing pasangan diturunkan dari ibu dan ayah. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa ada temuan besar yaitu jumlah kromosom yang benar (46) pertama kali ditemukan oleh orang Indonesia kelahiran Pekalongan Tjio Joe Hin pada tahun 1959 yang saat itu sedang belajar di Swedia. Genetika molekular merupakan cabang genetika yang mengkaji bahan genetik mencakup struktur, fungsi, dan hasil ekspresi gen di tingkat molekuler. DNA (deoxyribonucleic acid ) merupakan kumpulan asam nukleat yang tersusun dari 2 utas yang saling berlilit dan terdiri dari unsur-unsur kimia gula (deoksiribosa), asam fosfat dan basa nitrogen A, C, G, dan T (A akan berpasangan dengan T dan C akan berpasangan dengan G).  Gen merupakan bagian yang amat kecil didalam kromosom, sehingga didalam kromosom terdapat banyak gen yang memproduksi protein untuk fungsi tubuh. Genom manusia adalah kumpulan DNA lengkap dari 23 pasang kromosom  dan mempunyai 20.000-25.000 gen. Gen adalah unit pewarisan sifat (karakteristik genetik) bagi organisme hidup yang terdiri dari sekuens (potongan) DNA yang akan diwariskan kepada keturunannya.  Ukuran potongan DNA pada gen bervariasi dari beberapa ratus pasangan basa sampai kurang lebih 2 juta pasangan basa.  Gen sangat kecil (kurang dari 4 juta pasangan basa) maka tidak bisa diamati dengan mikroskop cahaya. Oleh  karena itu gen atau DNA perlu digandakan agar bisa diidentifikasi dengan mudah. Saat ini banyak muncul teknik identifikasi gen atau genome manusia maupun binatang termasuk bakteri dan virus dengan teknik molekuler. Teknik yang paling sering dipakai adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) karena sederhana dan murah, walaupun sekarang sudah banyak muncul teknik baru dengan alat yang mahal dan bisa mengidentifikasi banyak gen dalam sekali kerja seperti Next Generation Sequencing (NGS).

Teknik identifikasi gen dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)

Teknik PCR ini adalah untuk penggandaan DNA atau gen dengan siklus pemanasan yang dinaikan dan diturunkan (thermal cycles) didalam mesin, yang kemudian diulang sampai beberapa kali. Dimasa pandemi Covid 19 teknik PCR menjadi amat terkenal hampir semua pemangku kepentingan membicarakan diagnostic tepat untuk virus SARS-CoV-2 menggunakan PCR.  Namun pada virus hanya mempunya RNA (bukan DNA) yang sudah menjadi kode genetik protein, sehingga dibutuhkan RT-PCR (Reverse Transcriptase) yang akan mengubah RNA menjadi DNA, karena RNA tidak bisa digandakan.

Suatu sekuens DNA tertentu baik itu sekuens dari fungsional gen dalam tubuh manusia, maupun suatu polimorfisme DNA pada kromosom tertentu atau bahkan sekuens DNA dari bakteri atau virus tertentu dapat diidentifikasi keberadaannya didalam tubuh manusia dengan melakukan penggandaan panjangnya sekuens rantai DNA tersebut.  Proses penggandaan atau amplifikasi DNA didalam laboratorium pada mesin PCR membutuhkan primer (sekuens DNA sintetik untuk penuntun), ensim “DNA polymerase”  yang akan mengkatalisasi untuk pembentukan DNA baru.  Pada teknik ini dibutuhkan sangat sedikit konsentrasi DNA (hanya beberapa nanogram) bisa dari darah, kerokan pipi atau hidung sebelah dalam, akar rambut dan air liur.

Kerancuan Kelamin

Disorders of Sex Development (DSD) yang sebelumnya dikenal sebagai hermaphrodit atau intersex adalah suatu kelainan congenital (bawaan) di mana Gangguan Perkembangan Kelamin (GPK), merupakan kondisi kelainan sejak lahir dimana perkembangan kromosom, gonad dan karakteristik genitalia luar tidak khas.

Beberapa berita media sering menyebutkan sebagai kelamin ganda, hal ini tidak benar dan menyakitkan untuk didengar orantua dan keluarganya, oleh karena itu istilah Kerancuan Kelamin lebih mudah diterima oleh keluarga. Didalam masyarakat bahkan kerancuan kelamin disamakan dengan banci atau transgender sehingga terkadang terjadi pelecehan terhadap penderita dan menyebabkan stigma dan diskriminasi di masyarakat.  Kerancuan kelamin merupakan penyakit yang dianggap aib untuk diketahui orang banyak sehingga dokter atau penyedia kesehatan harus behati-hati dalam menghadapi penderita dan keluarganya baik pada saat wawancara maupun pemeriksaan fisik. Sering orang tua mengeluh dengan pertanyaan dokter yang menyakitkan yaitu Bapak atau Ibu ingin memilih gender laki-laki atau perempuan untuk puteranya, orang tua sangat tidak senang dengan pertanyaan ini karena orang tua bukan ingin memilih tapi ingin mengetahui kondisi anaknya dan jenis gender yang sebenarnya. Istilah DSD (GPK) masih luas, namun merupakan suatu penyakit yang disebabkan  oleh banyak faktor dan mencakup beragam kondisi yang mempengaruhi penentuan jenis kelamin dan / atau diferensiasi seks.  DSD berbagi kelainan fisik, sosial, dan emosional yang mirip, misalnya, penentuan gender pada bayi baru lahir mungkin ditunda karena genitalia alat kelamin luar tidak khas atau ketidak cocokan antara seks genetik dan alat kelamin luar, fungsi gonad, dan / atau anatomi seks. Anak-anak bisa mengalami hambatan  dalam buang air karena rasa malu dan ingin menyembunyikan kelainannya. Orang tua juga mungkin mempertanyakan keputusan penentuan jenis kelamin, terutama saat anak menampilkan tingkah laku yang menyimpang dengan gender yang ditentukan kepada anak. Mereka mungkin juga khawatir dengan stigma dari masyarakat dan berusaha untuk menyembunyikan kondisi anak. Orang tua yang ingin segera bisa menuntaskan masalah penentuan jenis kelamin dan pola asuh bahkan adanya rasa malu terhadap keluarga atau tetangga, sering mendorong dokter segera melakukan tindakan operasi. Hal ini yang  harus mendapatkan perhatian khusus dan melalui team multi disiplin yang terdiri dari beberapa ahli/ spesialis,  dokter harus berhati-hati kapan menentukan tindakan operasi. Pengunduran operasi sampai saatnya anak menjelang dewasa dan bisa menentukan atau meminta sendiri adalah lebih bijaksana, walaupun gender dapat ditentukan dulu untuk kepentingan pengasuhan dan administrative kependudukan.  DSD ditandai dengan adanya organ genitalia luar yang tidak jelas laki-laki atau perempuan atau mempunyai gambaran kedua jenis kelamin. Alat kelamin dicurigai kerancuan kelamin atau DSD apabila alat kelamin penis terlalu kecil atau klitoris terlalu besar mirip penis atau bilamana skrotum membelah pada garis tengah sehingga tampak seperti labia mayora (bibir kemaluan) yang tidak normal dan gonad (testis) tidak teraba.  DSD mencakup berbagai macam anomali seks sehingga sejak tahun 2006 pada Konsensus Chicago (Hughes,2006) untuk diagnosis diklasifikasikan  ke dalam tiga kelompok besar :a) 46, XX DSD; b) 46, XY DSD; dan c) kromosom seks DSD. Sampai saat ini masih ada keterbatasan data mengenai insidensi dari DSD/ GPK secara keseluruhan, namun diperkirakan insidensi keseluruhan dari DSD adalah lebih kurang  2 dalam 10.000 kelahiran. Di kota Semarang sendiri jumlah penderita DSD yang datang rata-rata 1 orang perminggu dan sejak tahun 1994 s/d sekarang  jumlah penderita yang terdaftar pada laboratorium Pusat Riset Biomedik FK Undip (center for Biomedical Research=Cebior) untuk pemeriksaan kromosom (sebagai penentu jenis kelamin) mencapai> 1200 orang.  Individu yg mempunyai genitalia yang rancu  bisa mengakibatkan seorang anak dibesarkan dengan jenis kelamin yang ditetapkan oleh orang tua atau penolong persalinan yang belum tentu benar secara medis. Padahal kesalahan dalam menetapkan jenis kelamin dapat berdampak terhadap pola asuh yang berpengaruh pada segala aspek kehidupan anak dan hukum karena terkait dengan data pada dokumen kependudukan dan bahkan pada masa dewasa akan sulit menentukan pasangan hidupnya (pernikahan) dan  hak waris dalam agama Islam. Diagnosis genetik baik pada tingkat sel (kromosomal) maupun molekuler (DNA) yang dapat dilakukan di laboratorium Cebior FK Undip/ RSND menjadi sangat penting untuk penentuan jenis kelamin dan tata kelola   pada pasien

Tata laksana dan perhatian terhadap penderita kerancuan kelamin

Memiliki anak adalah karunia yang membahagiakan bagi orang tua. Namun tidak semua anak terlahir sempurna, beberapa diantaranya butuh perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang tuanya. Banyak orang tua yang merasa malu bahkan menyembunyikan kekurangan atau sakit yang diderita oleh anaknya, bahkan beberapa menganggap sebagai aib yang justru menyebabkan anak tersebut tidak memperoleh penanganan medis secara tepat dan cepat. Bagi orang tua tidak mudah menghadapi masalah ini baik secara psikologik maupun finansial dan bagi anak yang mengalami kerancuan kelamin terutama yang terlambat berobat juga menimbulkan masalah yang berat baik masalah identitas, cara berpakaian dan penyesuaian budaya dengan lingkungan.

Penatalaksanaan kerancuan kelamin  meliputi penentuan jenis kelamin (sex asignment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara pembedahan, dan psikologis. Oleh karena itu perlu melibatkan team  multi-disiplin yaitu Tim Penyesuaian Kelamin Fakultas Kedokteran Undip yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Dr. Kariadi . Team ini harus sudah melakukan sejak tahap awal diagnosis yang meliputi bidang  Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Urologi, Bedah plastik, Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri, Psikolog, Genetika medik, Rehabilitasi medik, Patologi klinik, Patologi anatomi, ahli hukum dan agama.  Masalah  yang harus dipertimbangkan untuk masa depan penderita adalah potensi kesuburan, kapasistas fungsi seksual, fungsi hormon, kemungkinan terjadi keganasan pada gonad, faktor psikoseksual , identitas gender, peranan  gender,  orientasi gender, masalah agama dan budaya  di Indonesia  yang sangat kompleks. Pemeriksaan yang paling awal adalah analisis kromosom untuk menentukan jenis kelamin (sex assignment). Untungnya di Jawa Tengah tersedia pemeriksaan ini  di Laboratorium Pusat Riset Biomedik (Center for Biomedical Research) Fakultas Kedokteran Undip/ Rumah Sakit Nasional Diponegoro. Sehingga pasien dirujuk dari bebrapa daerah termasuk dari luar Jawa, namun sementara belum didanai oleh BPJS Kesehatan.  Selanjutnya masih banyak pemeriksaan laboratorium lainnya secara bertahap seperti pemeriksaan hormon, radiologik, analisis psikologik dan pemeriksaan gen.

Penyakit yang memberikan gejala kerancuan kelamin yang terbanyak pada kasus-kasus yang memeriksaakan diri di laboratorium Cebior adalah hipospadia (bocornya saluran kencing pada anak laki-laki didaerah penis maupun diantara skrotum (kantong testis) , sehingga anak laki-laki tidak bisa kencing sambil  berdiri, sering dikuti dengan tidak terabanya testis. Penyakit yang cukup sering dengan kerancuan kelamin adalah Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) bila mutasi gen parsial terdapat pada anak laki-laki yang memiliki kromosom 46, XY dengan hipospadia berat atau bila mutasi lengkap pada anak perempuan tetapi memiliki kromosom XY dengan penampilan alat kelamin luar seperti perempuan.  Kerancuan kelamin yang juga ssering terdapat di masyarakat adalah Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) terdapat pada perempuan (yang memiliki kromosom 46, XX) dengan kelentit (klitoris) membesar seperti penis. Kedua kelainan tersebut bisa memberikan gender yang berbeda dengan hasil kromosom, misalnya pada CAH dengan kromosom 46, XX tetapi mungkin bisa saja gendernya laki-laki karena terdapat pembesaran kelentit (clitoris) yang mirip penis.  Diagnosis tidak dapat hanya menggunakan pemeriksaan kromosom, untuk identifikasi gen harus menggunakan pemeriksaan molekuler (DNA) dengan alat yang paling sederhana seperti PCR maupun yang paling terkini yaitu sekuensing (NGS). Kadang untuk memastikan laki-laki atau perempuan harus pula dilakukan pemeriksaan gen laki-laki seperti gen SRY. Kedua kelainan genetik (mutasi) yang paling sering ini  merupakan penyakit genetik yang diwariskan, sehingga sangat penting untuk memberikan informasi/ konseling kepada keluarnya terutama pada pasangan usia reproduksi tentang risiko untuk mendapatkan anak lagi dengan kondisi yang sama.

Kendala yang dihadapi adalah masih banyak penolong persalinan atau dokter didaerah pedesaan yang belum memahami penyakit ini.  Pada orang tua masih menganggap sesuatu yg tabu untuk diperiksakan ke dokter bahkan cenderung disembunyikan, sehingga sering mereka datang berobat pada usia yg sudah mendekati dewasa dan sering sudah mendapatkan pola pengasuhan yang tidak sesuai dengan gender yang sebenarnya.  Pemeriksaan menuju ke diagnosis dan sebagai dasar penanganan pada kerancuan kelamin membutuhkan biaya banyak, selain itu tidak tersedianya obat yang harus dikonsumsi hampir seumur hidup di Indonesia.  Pada tahun 2013 saat Menteri Kesehatan Ibu Dr. Nafsiah Mboi,  Undip telah mengetuk belio untuk berbicara dan membuka pada acara seminar dan workshop untuk penyakit DSD ini di Semarang. Setahun sesudahnya menteri menepati janji dengan menyediakan obatnya namun masih cukup mahal karena masih di import. Sejak tahun 2018 obat sudah tersedia buatan Indonesia dan didanai oleh BPJS .  Namun tidak sesederhana yang kita duga, karena masih banyak obat lain yang dibutuhkan dalam keadaan tertentu (kritis) dan obat hormonal mahal yang harus diminum jangka panjang. Dari sisi penderita terutama yang didesa dengan sulit transportasi dan membutuhkan dana maka kurang adanya kesadaran untuk rutin mengkonsumsi obat dan berobat secara teratur.  Peranan dokter dan konselor genetika untuk memberikan edukasi dan penanganan dengan penuh rasa empati  menjadi amat penting. Pemangku kepentingan dari daerah juga perlu memberikan bantuan dan mengetahui kondisi penyakit ini, karena dengan penangan yang baik dan tepat mereka bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan berkontribusi kepada negara.

 

Pustaka bacaan

  1. Faradz SM. Genetic analysis for the diagnosis of disorders of sexual development in Indonesia. J Biomed Transl Res. 2016;2:22–4.
  2. Hughes IA, Houk CP, Ahmed SF. Consensus statement on management of intersex disorders. Archives of Disease in Childhood 2006;91:554-63.
  3. Hutson GM, Warne GL, Grover SR, an integrated approach to management Disorders of Sex Development. Springer, 2012
  4. Listyasari NA , Santosa A , Juniarto AZ , Faradz SMH Multidisciplinary Management of Disorders of Sex Development in Indonesia, A Prototype for Developing Country.  Journal of Biomedicine and Translational Research 2017; 3 (1): 17-22
  5. Juniarto AZ, van der Zwan YG, Santosa A, Ariani MD, Eggers S, Hersmus R, et al. Hormonal evaluation in relation to phenotype and genotype in 286 patients with a disorder of sex development from Indonesia. Clin Endocrinol (Oxf) 2016;85:247-57.

Leave a Comment